'Peduli Tuanku'

Posted: Minggu, 22 Maret 2009 by Bang Yudy in
1

Lintasan mobil mewah menggeliat di depan mata, seorang laki-laki muda berusia 40 tahunan keluar dari dalam mobil itu. Ia bergegas masuk ke dalam ruangan yang telah penuh dengan anak-anak muda.
"Allahu Akbar," kalimat takbir menggema saat laki-laki muda itu menempati podium utama. Untaian kata mengalir dari bibirnya. Gayanya kadang meledak, sejenak kemudian mereda. Kata-katanya selalu menggingatkan akan jargon-jargon "Bersih, Peduli, Profesional."
Setelah ia turun dari mimbar. Sambutan tepuk tangan, dan teriakan takbir kembali menggema. Anak-anak muda yang hadir dalam ruangan itu terlihat memancarkan semangat yang luar biasa. Sementara si laki-laki muda itu kembali ke mobil mewah. Mobil itu menerobos lintasan jalanan Jakarta. Kadang berhenti di persimpangan jalan yang penuh dengan para pengemis dan gelandangan. Kadang melewati barisan perumahan kumuh di pinggiran jalan.
Pandangan laki-laki muda itu hanya menatap lurus ke depan. Entah dimana kata peduli ia sematkan. Kenyamanan dalam mobil berAC, membuatnya kadang tertidur. Dan, ketika bangun, Ia sudah melontarkan kembali kata-kata "Bersih, Peduli, dan Profesional".
Ia memang sempat mengecap kemiskinan. Kemiskinan tidak menjadikannya ingat pada orang-orang miskin. Ia lupa, atau ia benar-benar tidak peduli. Toh setiap barisan orang yang ia temui percaya dengan kata-kata yang Ia ucapkan. Kata-kata yang menegaskan kepada setiap orang untuk "Bersih, Peduli, dan Profesional."

Old Man On The Train

Posted: Minggu, 15 Maret 2009 by Bang Yudy in
0

Entah, sudah berapa lama kami berdiskusi. Sejak kereta yang kami tumpangi bergerak dari Surabaya menuju Jakarta, kami mencoba mengusir rasa sepi dan menikmati perjalanan ini dengan saling bertukar kata.
Awalnya hanya saling bertanya tentang kegiatan yang dilakukan selama di Surabaya. Tetapi obrolan ringan itu berlanjut sepanjang perjalanan. Tak banyak yang aku tahu memang dari seorang Bapak tua yang duduk sebangku denganku saat itu.
Tadinya ku pikir Ia seorang tua yang baik-baik saja. Namun, di tengah obrolan dia bercerita tentang dirinya yang pernah terserang stroke. Bukan itu yang membuat aku termenung hingga saat ini jika mengingat kembali obrolan malam itu.
"Sakit yang saya derita saat ini adalah akibat dari apa yang telah saya lakukan semasa muda saya," katanya. Ekspresinya datar ketika mengatakan itu. Ia tidak mengeluh. Ia tidak menyalahkan Tuhan dalam kondisi itu.
Aku yang saat itu mendengarkan seluruh cerita tentang masa mudanya cukup terkesima dengan penuturan jujur yang sedang ia ungkapkan. Sangat jarang ku pikir orang tua yang ingin bercerita tentang masa mudanya yang kelam.
Orang tua selalu tampil dengan keangkuhan, menyombongkan diri tentang kejayaan masa mudanya, tanpa pernah mau mengintrospeksi diri walau maut sedang menjemput.
Orang tua yang ku jumpai malam itu memberikan aku hentakan kesadaran tentang semua hal telah aku lakukan selama seperempat abad usiaku hadir di muka bumi ini.
Aku seolah memutar kembali rekaman sepanjang hidup yang tidak lagi utuh di dalam memori kepalaku. "Ahh, betapa banyak ya Allah dosa-dosa yang telah aku lakukan," batinku. Kalaupun suatu saat kau ingin menghukumku seperti orang tua ini, aku ikhlas dengan ketentuanMu.
Orang tua yang berbeda agama denganku itu memberikan cerita luar biasa, tanpa pernah tersekat-sekat dalam batas tua-muda, batas suku, partai, agama, hingga mazhab, yang terkadang membuat kita terjebak dalam arogansi sendiri, dan tidak menemukan setiap hikmah di balik setiap kejadian.

Where is My Liqo?

Posted: Selasa, 17 Februari 2009 by Bang Yudy in
0

Seorang ikhwah, sejak siang sudah tampak bersiap-siap. Semua bekal pertemuan disiapkan. Materi tambahan, bahan diskusi, cek hafalan, materi kajian hadits, sampai bahan presentasi program uanggulan sudah bersatu di dalam tasnya. Dia berdiri, menghembuskan nafas panjang, dan "Yap ready to go, Ya Allah bersihkan hati kami dalam menghasilkan perbaikan untuk diri kami, bangsa, dan ummat ini, Amin."

Itulah gambaran persiapan ikhwah kita masa-masa yang lalu. Sebuah pertemuan yang menyedot perhatian maksimal. Banyak hal yang produktif dihasilkan dari pertemuan sesaat tersebut. Rangkaian strategi dakwah di lingkungan sekitar dibahas tuntas. Ada kampus, remaja masjid, perkantoran, atau komplek perumahan.

Mereka membagi perhatian yang bahkan lebih kental dari pertalian darah. Mereka mencintai pertemuan tersebut, meskipun tidak jarang mereka memulai pertemuan sejak pukul 16.00 dan baru berakhir pukul 07.00 pagi keesokan harinya.

Keterikatan dan rasa kepemilikan terhadap pertemuan tersebut diwakili dengan pernyataan, "Hari terbaik kami adalah ketika kami berhimpun dengan ikhwah dalam ketaatan."Tahun-tahun sebelum ini, masih dalam dasawarsa. liqo masih menjadi pertemuan eksklusive yang elite. Setiap pesertanya merasa bangga memilikinya.

Belakangan ini, gambaran liqo seakan kehilangan ke-elitan-nya. Mulai dari waktu pertemuan yang terkesan yang kental terkesan waktu sisa, sampai nilainya yang sekedar 'jaga status'. Halaqoh berjalan sebagai penebus kewajiban, formal, rutin, dan sekedar mekasnistik. Miskin ruh, miskin ukhuwah, dan tidak produktif. Mungkin tidak semua halaqoh seperti itu, tapi sulit untuk mengatakan jumlahnya sedikit.

Ana Uhibbuki Fillah!!!

Posted: Minggu, 15 Februari 2009 by Bang Yudy in
1

"Afwan Akhi, bukan ane menolak lamaran antum terhadap putri ane, tapi usia antum bukannya terlalu jauh dengan putri ane," kata-kata itu seolah meruntuhkan bumi yang dipijaknya. Seorang ikhwan berusia sepertiga abad sedang berhadap-hadapan dengan seorang ikhwan yang lebih tua dari dirinya.

Malam itu adalah malam ketika ia membulatkan tekad untuk mengungkapkan segala hal yang ia pendam selama lebih dari 7 tahun. Perasaan yang ia rasakan sejak pertama kali berinteraksi dengan seorang akhwat yang usia jauh lebih muda dari dirinya.

Keberanian itu baru muncul saat ini, saat ia sudah merasakan segala seusatu telah pantas untuk ia ungkapkan. Harapannya satu, ia dapat mengkhitbahnya untuk dijadikannya sebagai seorang istri, yang akan melengkapi kesempurnaan imannya, yang akan menjadi perhiasan yang paling indah selama ia hidup di dunia. Ya seorang istri sholeha. Sosok yang ia temukan pada diri akhwat yang ia akan lamar malam itu.

Dan kini, saat segalanya sudah ia perhitungkan dengan matang. Kenyataan justru berkata lain, Ia harus menerima sebuah pernyataan yang sungguh ia tidak harapkan selama ini. Ia hanya bisa mematung mendengarkan untaian kata-kata berikutnya yang keluar dari ayah sang akhwat.

Walaupun gemuruh sesak di hatinya sudah tak tertahankan, naumun ia mencoba untuk bertahan. Bertahan demi sebuah harga diri yang tidak mungkin ia runtuhkan saat itu juga. Ia hanya akan menjadi pecundang jika kemudian mengeluarkan butiran air mata di depan sosok ayah yang ia kagumi selama ini. Sosok ayah yang mampu mendidik putrinya menjadi seorang wanita yang cerdas, dan beriman, layaknya Siti Aisyah.

Pikirannya berkecamuk. Apa karena beda usia yang jauh, lamarannya harus ditolak. Bukankah Rasulullah, dan para sahabatnya justru menunjukkan hal sebaliknya. Menunjukkan bahwa cinta tidak pernah memandang usia. Menunjukkan bahwa pernikahan dapat dilakukan dengan usia yang berbeda cukup jauh.

Lantas dimana persaudaraan di antara sesama ikhwah, pertanyaan-pertanyaan berikutnya hadir di benak kepalanya. Ia tidak lagi berkonsentrasi mendengarkan penjelasan-penjelasan berikutnya yang terlontar dari mulut sang ayah.

Selesai mendengarkan beragam penjelasan, ia pamit pulang. Ia sudah tidak berniat lagi untuk mendebat seluruh penjelasan yang telah didengarnya. Ia bahkan kini menjadi limbung, doanya hanya satu, "Robbi inikah jawaban atas segala doa yang ku panjatkan selama ini, ampuni hambaMu ini ya Robb," Air matanya mengalir deras.

Malam itu, kepalanya hanya tertunduk, harapan yang ia letakkan setinggi langit, hilang bersama hembusan angin. Entah, ia tidak bisa membuat kata-kata motivasi dalam dirinya, ia tidak bisa segera bangkit. Tapi, entah esok, atau lusa...

Di kejauhan langit, tampak sang rembulan tak bersemangat memantulkan sinar yang diperolehnya dari sang matahari. Awan tipis menyelubungi dirinya, seolah ikut merasakan dua hati yang sedang terluka.

Keep Istiqomah My Friend!!!

Posted: Minggu, 08 Februari 2009 by Bang Yudy in
2

Seorang ikhwah duduk termangu di depan selasar sebuah masjid, matanya menatap ke arah jalan masuk masjid itu, sesekali pandangannya ia jatuhkan ke hp yang digenggamnya sejak pertama kali ia datang. "Belum ada yang datang," risaunya.
Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi ikhwah lainnya, namun tak ada jawab yang pasti. Ia berusaha memastikan bahwa pesan pendek yang dikirimnya semalam sudah tersampaikan. Isinya adalah pemberitahuan tentang agenda mentoring jurnalistik dan rapat evaluasi hari ini.
"Maaf nomer yang sedang anda hubungi sedang tidak aktif," berkali-kali ia coba tetap sama. Kegundahan tertangkap dari kedua matanya. Ia mencoba berhusnudzhon kepada teman-temannya yang lain. Setiap kali pikiran buruk merasuk ke dalam hatinya, ia mencoba beristighfar.
Sudah setengah jam lebih ia duduk mematung di depan masjid itu, namun tak ada tanda-tanda kabar dari ikhwah lainnya. Pikirannya berkecamuk, ia justru mempertanyakan tentang arti istiqomah, pentingnya sebuah proses pembinaan dan kaderisasi, dan tujuan dari mentoring jurnalistik itu diadakan.
Sempat terlintas di benaknya sebuah kata putus asa, tapi bisikan lain di hatinya justru mengatakan untuk mengevaluasi dirinya, tentang amalan yaumiah yang memang agak kendur belakangan ini, dan perbuatan khilaf yang mungkin ia lakukan belakangan ini. "Ya ini mungkin sebab diri ane sendiri,"batinnya.
Jam menunjukkan angka 9, saatnya menyambut kedatangan peserta mentoring. Satu orang peserta sudah datang, itu artinya ia harus mempersiapkan diri untuk mengisi mentoring seorang diri jika pementor yang lainnya tidak datang.
Tak lama berselang, seorang ikhwah datang. "Alhamdulillah," ia patut mengucapkan syukur kepada Allah. Ia sambut ikhwah itu dengan senyum kegembiraan, senyuman yang ia rasakan berbeda dibandingkan waktu-waktu sebelumnya.
Setelah berdiskusi, berdua mereka memulai proses mentoring, walaupun peserta baru hanya satu orang. Tak lama berselang, satu, dua, dan semakin banyak peserta mentoring yang datang sabtu itu. Mentoring pun semakin seru berjalan, diselingi games yang menghiasi canda dan tawa.
Aku yang sedari tadi melihat semua itu ikut tersenyum bahagia melihatnya, "harapan itu masih ada,"ucapku dalam hati, "tak masalah dengan jumlah sedikit, selama proses itu masih berlangsung." Ku goyangkan dahanku, tanda bertasbih dan mendoakan majlis yang sedang berlangsung itu.